PEREKONOMIAN INDONESIA PADA MASA ORDE LAMA
Pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Setlah itu, khususnya pada
tahun-tahun pertama setelah merdeka, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk;
ekonomi nasional boleh dikatakan mengalami stagflasi. Defisit saldo neraca
pembayaran dan defisit keuangan pemerintah sangat besar; kegiatan produksi di
sektor pertanian dan sektor industri manufaktur praktis terhenti; tingkat
inflasi sangat tinggi, hingga mencapai lebih dari 500% menjelang akhir periode
orde lama. Semua ini disebabkan oleh berbagai macam faktor, yang penting
diantaranya adalah pendudukan Jepang, Perang Dunia II , Perang Revolusi, dan
Manajemen Ekonomi Makro yang sangat jelek.
Dapat dikatakan bahwa Indoneisa pernah
mengalami sistem politik yang sangat demokratis, yakni pada periode 1949-1956.
Akan tetapi, sejarah Indonesia menunjukan bahwa sistem politik demokrasi
tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian nasional.
Akibat terlalu banyaknya partai politik yang ada dan semuanya ingin berkuasa,
sering terjadi konflik antarpartai politik. Konflik politik tersebut
berkepanjangan sehingga tidak memberi sedikit pun kesempatan untuk membentuk
suatu kabinet yang solid yang dapat bertahan hingga pemilihan umum berikutnya.
Pada masa politik demokrasi itu, tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur
setiap kabinet hanya sekitar 2 tahun saja.
Selama periode 1950-an struktur ekonomi
Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sektor formal/modern, seperti
pertambangan, distribusi, transportasi, bank, dan pertanian komersi, yang
memiliki konstribusi lebis besar daripada sektor informal/tradisional terhadap
output nasional atau produk domestik bruto (PDB) didominasi oleh
perusahaan-perusahaan asing tersebut relatif lebih padat kapital dibanding
kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi dan beralokasi
di kota-kota besar , seperti Jakarta dan Surabaya.
Keadaan ekonomi di Indonesia, terutama
setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing di tanah air,
termasuk perusahaa-perusahaan milik Belanda, menjadi lebih buruk dibanding
keadaan ekonomi pada masa penjajahan Belanda, ditambah lagi dengan peningkatan
laju inflasi yang sangat tinggi pada dekade 1950-an. Pada masa pemerintahaan
Belanda Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dengan
tingkat inflasi yang sangat rendah dan stabil, terutama karena tingkat upah
buruh dan komponen-komponen lainnya dari biaya produksi yang juga rendah,
tingkat efeisensi yang tinggi di sektor pertanian, dan nilai mata uang yang
stabil.
Selain kondisi politik di dalam negeri yang tidak mendukung, buruknya perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan orde lama juga disebabkan oleh keterbatasan akan faktor-faktor produksi, seperti orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan / keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industri), teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik. Menurut pengamatan Higgins (1957a,b), sejak kabinet pertama dibentuk setelah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan prioritas pertama terhadap stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan industri, unfikasi, dan rekonstruksi. Akan tetapi, akibat keterbatasan akan faktor-faktor tersebut diatas dan dipersulit lagi oleh kekacauan politik nasional pada masa itu, akhirnya pembangunan atau bahkan rekonstruksi ekonomi Indonesia setelah perang tidak pernah terlaksana dengan baik.
Selain kondisi politik di dalam negeri yang tidak mendukung, buruknya perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan orde lama juga disebabkan oleh keterbatasan akan faktor-faktor produksi, seperti orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan / keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industri), teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik. Menurut pengamatan Higgins (1957a,b), sejak kabinet pertama dibentuk setelah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan prioritas pertama terhadap stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan industri, unfikasi, dan rekonstruksi. Akan tetapi, akibat keterbatasan akan faktor-faktor tersebut diatas dan dipersulit lagi oleh kekacauan politik nasional pada masa itu, akhirnya pembangunan atau bahkan rekonstruksi ekonomi Indonesia setelah perang tidak pernah terlaksana dengan baik.
PEREKONOMIAN INDONESIA PADA MASA ORDE BARU
Pada masa awal Orde Baru. Pembangunan ekonomi di Indonesia maju pesat. Mulai dari pendapatan perkapita, pertanian, pembangunan infrastruktur,dll. Saat permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah.Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijakanekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet AMPERA membuat kebijakan mengacupada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut.
1. Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki
sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan,seperti :
a. rendahnya penerimaan Negara.
b. tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran
Negara.
c. terlalu banyak dan tidak produktifnya
ekspansi kredit bank.
d. terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri
penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang c berorientasi pada kebutuhan
prasarana.
2. Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan
perekonomian.
3. Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan
tersebut maka ditempuh cara:
a. Mengadakan operasi pajak
b. Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan
perorangan dan kekayaan dengan
menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak
orang.
Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan
Jangka Panjang (25-30 tahun) dilakukan secara periodik lima tahunan yang
disebut Pelita(Pembangunan Lima Tahun). Pelita berlangsung dari Pelita I-Pelita
VI.
1. Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini
adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan
lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelita I lebih menitikberatkan pada
sektor pertanian.
Keberhasilan dalam Pelita I yaitu
a. Produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4% setahun.
a. Produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4% setahun.
b. Banyak berdiri industri pupuk, semen, dan
tekstil.
c. Perbaikan jalan raya.
d. Banyak dibangun pusat-pusat tenaga listrik.
e. Semakin majunya sektor pendidikan.
2. Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini
adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan
rakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasil meningkatkan
pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi.
Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan
jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun.
3.Pelita III(1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Pelita III lebih menekankan pada Trilogi
Pembangunan. Asas-asas pemerataan di tuangkan dalam berbagai langkah kegiatan
pemerataan, seperti pemerataan pembagian kerja, kesempatasn kerja, memperoleh
keadilan, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan,dll
4. Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989)
Pada Pelita IV lebih dititik beratkan pada
sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan ondustri yang dapat
menghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV
antara lain.
a. Swasembada Pangan.
Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi
beras sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya Indonesia berhasil swasembada beras.
kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO(Organisasi Pangan dan Pertanian
Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia.
Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga
dilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga.
5. Pelita V(1 April 1989 – 31 Maret 1994)
Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada
sektor pertanian dan industri untuk memantapakan swasembada pangan dan
meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor.
Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan
jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke
dua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki
proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri
demi menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
6. Pelita VI (1 April 1994 - 31 Maret 1999)
Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan
pada sektor bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri
dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai
pendukungnya.
Namun Pelita VI yang diharapkan menjadi proses
lepas landas Indonesia ke yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal landas dan
kapal pun rusak.
Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit di
atasi pada akhir tahun 1997. Semula berawal dari krisis moneter lalu berlanjut
menjadi krisis ekonomi dan akhirnya menjadi krisis kepercayaan terhadap
pemerintah. Pelita VI pun kandas di tengah jalan. Kondisi ekonomi yang kian terpuruk ditambah dengan KKN
yang merajalela, Pembagunan yang dilakukan, hanya dapat dinikmati oleh sebagian
kecil kalangan masyarakat.
Karena pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata.
Meskipun perekonomian Indonesia meningkat, tapi secara fundamental pembangunan
ekonomi sangat rapuh.. Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber
daya alam. Perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, antar
kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam.. Terciptalah kelompok yang
terpinggirkan (Marginalisasi sosial).
Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa
diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan
berkeadilan. Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di
sejumlah wilayah yang menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau,
Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilah yang selantunya ikut menjadi
penyebab terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir tahun
1997.membuat perekonomian Indonesia gagal menunjukan taringnya. Namun pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru merupakan
pondasi bagi pembangunan ekonomi selanjutnya.
PEREKONOMIAN
INDONESIA PADA ERA REFORMASI
A. Pemerintahan Reformasi
Pada
masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian
disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie.
Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun
juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32
tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
1. Masa Kepemimpinan B.J. Habibie
Pada
awal pemerintahan reformasi, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan
investor, termasuk investor asing, menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan
dan kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional
dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde
baru, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); supremasi hukum; hak asasi
manusia (HAM); Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II; peranan ABRI di dalam
politik; masalah disintegrasi; dan lainnya.
Masa
pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter
Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu,
Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan
berekspresi.
Di
bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih
berkisar antara Rp 10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya,
terutama setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket
naik pada level Rp 6500 per dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi
di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia juga memulai menerapkan
independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian. Untuk
menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, BJ Habibie
melakukan beberapa tindakan.
Pemerintahan
presiden B.J. Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya
diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.
2. Masa
Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Dalam
hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi
perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB
mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan
perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir
mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI)
juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai
stabil.
Akan
tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya Presiden Indonesia keempat
tidak berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan
ucapan-ucapan kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden
cenderung bersikap diktator dan praktek KKN di lingkungannya semakin intensif,
bukannya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan dari gerakan
reformasi. Ini berarti bahwa walaupun namanya pemerintahan reformasi, tetapi
tetap tidak berbeda denga rezim orde baru. Sikap presiden tersebut juga
menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang klimaksnya
adalah dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat Memorandum I dan
II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden terancam akan diturunkan dari
jabatannya jika usulan percepatan Sidang Istomewa MPR jadi dilaksanakan pada
bulan Agustus 2001.
Selama
pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang
dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa
disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik
Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh
semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi
perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elite politik semakin besar.
Selain
itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan
IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999
mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut
kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang
terus tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan
IMF menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda
perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu,
Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara
donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi
perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus
membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar
akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam
akan menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan pemerintah
Indonesia macet.
Ketidakstabilan
politik dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman
Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Ditambah lagi
dengan memburuknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini
membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan
kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi
perekonomian nasional pada masa pemerintahan reformasi cenderung lebih buruk
daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan, lembaga pemeringkat
internasional Moody’s Investor Service mengkonfirmasikan
bertambah buruknya country risk Indonesia. Meskipun beberapa
indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi
politik dan sosial, lembaga rating lainnya (seperti Standard
& Poors) menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke
negatif.
Kalau
kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi
Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya,
bahkan bisa kembali negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang
sungguh-sungguh (political will) untuk menyelesaikan krisis
ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah
cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap
persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia,
desentralisasi fiskal, restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank
Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang controversial dan
inkonsistens, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT
G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar
negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense of crisis terhadap
kondisi riil perekonomian negara saat ini.
Fenomena
makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi.
Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8
Maret 2001 menunjukkan growth trend yang negatif. Dalam
perkataan lain, selama periode tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin
yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan
pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin
tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap prospek perekonomian
Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek.
Indikator
kedua yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat terhadap
pemerintah reformasi adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Seperti yang dapat kita lihat pada grafik di bawah ini, pada awal tahun 2000
kurs rupiah sekitar Rp7.000,- per dolar AS dan pada tanggal 9 Maret 2001
tercatat sebagai hari bersejarah sebagai awal kejatuhan rupiah, menembus level
Rp10.000,- per dolar AS. Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia
secara agresif terus melakukan intervensi pasar dengan melepas puluhan juta
dolar AS per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun, pada tanggal 12 Maret
2001, ketika Istana Presiden dikepung para demonstran yang menuntut Presiden
Gus Dur mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot.
Pada
bulan April 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menyentuh
Rp12.000,- per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdurrahman
Wahid terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia.
Lemah
dan tidak stabilnya nilai tukar rupiah tersebut sangat berdampak negatif
terhadap roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan,
bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi,
sosial, dan politik akan jauh lebih besar daripada krisis pertama. Dampak
negatif ini terutama karena dua hal. Pertama, perekonomian
Indonesia masih sangat tergantung pada impor, baik untuk barang-barang modal
dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang konsumsi. Kedua,utang
luar negeri (ULN) Indonesia dalam nilai dolar AS, baik dari sektor swasta
maupun pemerintah, sangat besar.
Pada
masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup
berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai
persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN,
pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat
skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat.
Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
3. Masa Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masa
kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang
mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
Di
masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal
keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan
modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Kebijakan-kebijakan lain pada masa Megawati:
· Memilih
dan Menetapkan
Ditempuh dengan meningkatkan kerukunan antar elemen bangsa dan menjaga
persatuan dan kesatuan. Upaya ini terganggu karena peristiwa Bom Bali yang
mengakibatkan kepercayaan dunia internasional berkurang.
· Membangun
tatanan politik yang baru
Diwujudkan dengan dikeluarkannya UU tentang pemilu, susunan dan kedudukan
MPR/DPR, dan pemilihan presiden dan wapres.
· Menjaga
keutuhan NKRI
Setiap usaha yang mengancam keutuhan NKRI ditindak tegas seperti kasus Aceh,
Ambon, Papua, Poso. Hal tersebut diberikan perhatian khusus karena peristiwa
lepasnya Timor Timur dari RI.
· Melanjutkan
amandemen UUD 1945
Dilakukan agar lebih sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman.
· Meluruskan
otonomi daerah
Keluarnya UU tentang otonomi daerah menimbulkan penafsiran yang berbeda tentang
pelaksanaan otonomi daerah. Karena itu, pelurusan dilakukan dengan pembinaan
terhadap daerah-daerah.
Meski
ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah
yang lebih stabil, namun Indonesia pada masa pemerintahannya tetap tidak
menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lain.
4. Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid I
(Era SBY- JK) = (2004-2009)
Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan
ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM
dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan
kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak
sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah
sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah
mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim
investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit
pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan
kepala-kepala daerah.
Menurut
Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin
ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi
kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah
revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di
Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada
pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi
mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.
Hal
ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit
perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan
dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya
investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga
menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena
inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya
mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri
masih kurang kondusif.
Namun,
selama masa pemerintahan SBY, perekonomian Indonesia memang berada pada masa
keemasannya. Indikator yang cukup menyita perhatian adalah inflasi.
Sejak
tahun 2005-2009, inflasi berhasil ditekan pada single digit. Dari 17,11% pada
tahun 2005 menjadi 6,96% pada tahun 2009. Tagline strategi pembangunan ekonomi
SBY yang berbunyi pro-poor, pro-job, dan pro growth (dan kemudian ditambahkan
dengan pro environment) benar-benar diwujudkan dengan turunnya angka kemiskinan
dari 36,1 juta pada tahun 2005, menjadi 31,02 juta orang pada 2010. Artinya,
hampir sebanyak 6 juta orang telah lepas dari jerat kemiskinan dalam kurun
waktu 5 tahun. Ini tentu hanya imbas dari strategi SBY yang pro growth yang
mendorong pertumbuhan PDB.
Imbas
dari pertumbuhan PDB yang berkelanjutan adalah peningkatan konsumsi masyarakat
yang memberikan efek pada peningkatan kapasitas produksi di sector riil yang
tentu saja banyak membuka lapangan kerja baru. Memasuki tahun ke dua masa
jabatannya, SBY hadir dengan terobosan pembangunannya berupa master plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3 EI). Melalui
langkah MP3EI, percepatan pembangunan ekonomi akan dapat menempatkan Indonesia
sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara UsS
14.250-USS 15.500, dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USS
4,0-4,5 triliun.
§ Kebijakan-kebijakan lain
yang dilakukan pada masa SBY:
• Anggaran pendidikan ditingkatkan menjadi 20% dari keseluruhan APBN.
• Konversi minyak tanah ke gas.
• Pembayaran utang secara bertahap kepada badan PBB.
• Buy back saham BUMN
• Pelayanan UKM (Usaha Kecil Menengah) bagi rakyat kecil.
• Memudahkan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
• Meningkatkan sektor pariswisata dengan mencanangkan “Visit Indonesia 2008″.
• Pemberian bibit unggul pada petani.
• Pemberantasan korupsi melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Sumber
data :
0 komentar:
Posting Komentar